(Oleh: Fr. Jhon Juma, CMM)
Kitab Suci adalah “Firman Allah” atau “Sabda Tuhan” yang “belum Lengkap” bagi kita. Kitab Suci baru jadi Firman Allah atau Sabda Tuhan yang lengkap, kalau kita membaca dan merenungkannya dalam konteks pengalaman hidup konkrit. Karena hanya dengan demikian, kita bisa mengalami Allah berbicara kepada kita hic et nunc, di sini dan kini (Bdk. Turba Kearifan Abadi).
Tetapi dalam realitas, kita tak bisa pungkiri kalau begitu banyak orang Katolik, khususnya orang Katolik di Indonesia kurang mengenal, memahami dan mencintai ajaran Kitab Suci dan hidup jauh dari nilai-nilai Sabda Tuhan. Kitab Suci kurang dihargai dan diberi tempat dalam hati sekian banyak umat. Karena itulah, sebagai sebuah keprihatinan, Gereja Katolik di Indonesia merasa terpanggil dan terdorong untuk membangkitkan kesadaran umatnya dengan menetapkan “Bulan September” sebagai “Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN)”, yang secara historis merupakan keputusan rapat Majelis Waligereja Indonesia (MAWI) pada tahun 1977, dan akhirnya sejak tahun 1977 berkembang sebagai sebuah tradisi sampai dengan saat ini, sebagai tindak lanjut terhadap amanat Konsili Vatikan II, dengan tujuan antara lain membantu umat untuk semakin mengenal, mencintai, dan menghidupkan Sabda Tuhan dalam praksis hidup sehari-hari baik secara pribadi maupun bersama (komunitas), sesuai konteks Indonesia.
Konsili Vatikan II, melalui salah satu dokumennya, berbicara mengenai Kitab Suci adalah Dei Verbum. Dalam Dei Verbum para bapa Konsili menganjurkan agar jalan masuk menuju Kitab Suci dibuka lebar-lebar bagi kaum beriman (DV 22). Konsili juga mengajak seluruh umat beriman untuk tekun membaca Kitab Suci. Bagaimana jalan masuk itu dibuka? Pertama-tama, dengan menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa setempat, dalam hal ini Bahasa Indonesia.
Untuk sampai pada pengalaman itu, kiranya kita perlu memiliki motivasi yang benar untuk membaca dan merenungkan Kitab Suci. Beberapa motivasi berikut ini hendaknya ditanam dalam hati dan pikiran kita:
Pertama, kita membaca Kitab Suci tidak untuk membuktikan atau membela kebenaran tindakan/sikap kita (apologetis), tapi untuk berkembang dalam iman dan kehidupan rohani (spiritual); Kedua, kita membaca Kitab Suci tidak sebagai buku Katekismus yang berisi rumusan teori iman yang harus dihafal, tetapi terutama sebagai buku cerita pengalaman iman manusia yang mengkomunikasikan nilai-nilai hidup manusia dan yang meminta keterlibatan seluruh diri/hati kita agar bisa mengalami pembebasan dari tekanan dan kesulitan hidup serta kegembiraan anak-anak Allah; Dan ketiga, Kita membaca Kitab Suci tidak untuk mengenal persis raut muka, rambut, suara, pakaian Yesus dan Allah, tapi untuk semakin mengenal watak, tindak-tanduk, tutur kata, sikap dan perbuatan Yesus dan Allah yang setia mewujudkan kasih-Nya yang tak terbatas dan tak bersyarat bagi manusia ciptaan-Nya.
Menjadi sebuah pertanyaan reflektif bagi kita semua: “Apakah kita sebagai orang Kristiani (Katolik) sudah sungguh mengenal, mencinta, dan hidup sesuai nilai-nilai ajaran Kitab Suci (Sabda Tuhan)?”
1 komentar:
Proficiat atas terbitnya BUPAR Edisi online.Ditunggu info2nya yg up to date.
Posting Komentar