29 November 2010

MENEMUKAN WAJAH YESUS DALAM KERAGAMAN Catatan & Sharing Mengikuti Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010


Perhelatan akbar limatahunan Gereja Katolik telah diwujudkan dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia yang berlangsung pada 1-5 November 2010 di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor. Perayaan yang mengambil tema, “Ia Datang supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan”(bdk. Yoh 10:10) ini dihadiri oleh 385 orang perwakilan umat dari seluruh keuskupan di Indonesia. Semua peserta diberikan kesempatan untuk menuturkan kisah iman dan pengalamannya akan Yesus yang direfleksikan dalam konteks keragaman budaya, agama dan kepercayaan lain, serta pergumulan kaum marginal dan terabaikan.

Metode yang dipakai dalam SAGKI 2010 adalah metode narasi, yaitu penuturan kisah-kisah pengalaman hidup yang dibaca dalam terang iman. Kisah yang dituturkan dengan baik dan didengarkan dengan hati akan membawa pendengar “masuk” dalam kisah itu. Para pendengar bisa menangis, marah, gembira dan tertawa sejalan dengan dinamika kisah tersebut. Kisah itu juga mempunyai daya memperbaharui dan bahkan mengubah kehidupan. Gereja memberI kesaksian tentang Yesus dalam kisah. Dalam Kitab Suci kita dapat menemukan berbagai kisah tentang Yesus: Kisah sengsara, kisah masa kanak-kanak Yesus, kisah mujizat, kisah kebangkitan, dsb. Dalam mengajar, Yesus pun banyak mengungkapkan suatu kisah dengan menggunakan perumpaan-perumpamaan. Kisah-kisah perjumpaan pribadi dengan Yesus yang memperbaharui kehidupan dan berbuah kebaikan iman akan memiliki daya melahirkan dan menghadirkan Yesus pada orang lain.

Keuskupan Banjarmasin me ngirimkan 10 orang utusannya yang berasal dari berbagai paroki. Romo Allparis, Anton dan Nining dari paroki Kelayan mendapatkan kesempatan “mendulang” kekayaan dalam SAGKI 2010 tersebut. Demikian kisah-kisah iman ketiga peserta tersebut dalam mengikuti perhelatan akbar tersebut:

Romo Allparis:

Gereja dengan warna budaya lokal

Ditunjuk sebagai kontak person Keuskupan Banjarmasin dengan Panitia SAGKI membuat saya cukup gugup. Hal yang membuat gugup itu bukan sidangnya, bukan agenda-agenda sidang, tapi yang membuat gugup itu huruf “A” dalam kata SAGKI yang merupakan singkatan dari kata AGUNG. Berjumpa dengan kata “Agung” dalam persidangan membuat saya berpikir, “Sebagai wakil dari keuskupan Banjarmasin, apa yang perlu dipersiapkan dalam sidang nanti?”. Persiapan-persiapan, dari bahan sidang sampai proses perjalanan pulang pergi utusan keuskupan pun dilakukan disertai niatan untuk wisata kuliner selera Sunda.

Seluruh rangkaian sidang mencoba menggali, menemukan, membawa Yesus dalam budaya, dalam kepercayaan lain serta dalam diri orang lain yang termarginalkan. Proses sidang tersebut membawa pada sebuah permenungan dan refleksi tersendiri, terlebih setelah mendengarkan kisah-kisah dari para nara sumber.

Dalam persidangan tersebut, saya berjumpa dengan wakil-wakil umat Katolik dari seluruh Indonesia, dengan segala ragam budaya. Saya menemukan betapa kayanya Gereja Katolik. Budaya-budaya setempat dapat digali sebagai jalan pewartaaan sabda. Sebuah proses yang tidak mudah, perlu waktu bertahun-tahun, bahkan berabad-abad. Ketika menyaksikan bagaimana Gereja diterima di suatu tempat, bahkan Gereja mampu menguduskan sebuah budaya yang baik dan suci, Gereja terpanggil dalam suka duka masyarakat setempat. Hal ini sungguh merupakan sebuah harapan baru dalam evangelisasi. Semuanya menjadi tantangan bagi saya sebagai seorang imam Kalimantan Selatan. Dengan cinta yang luar biasa, ada harapan untuk mengubah segalanya. Sebuah tantangan tersendiri untuk menemukan hal-hal baik dalam budaya Banjar yang selaras dengan nilai-nilai Kristiani serta menemukan Yesus dalam budaya Banjar.

Muncul sebuah permenungan setelah saya menyaksikan dan mendengar kisah-kisah dan pentas budaya lokal dari beberapa keuskupan. Bukan rasa iri, tapi sebuah tantangan bagi saya untuk mengenal budaya Banjar dan mencintai budaya Banjar. Mencintai budaya Banjar bisa saya lakukan dari berbagai sudut: kebiasan-kebiasan, makanan, lagu-lagu, tari-tarian, musik, bahasa dll. Semoga suatu saat gereja yang ada di Banjarmasin menjadi gereja yang hidup dan mempunyai warna budaya Banjar.

Anton: Bernarasi adalah Berdialog

Bernarasi dalam konteks ini adalah usaha untuk mengungkapkan kejujuran, membawa wajah Yesus dan mencoba menemukan wajah Yesus dalam diri lawan bicara kita. Sebuah usaha bersaksi dan bermisi. Kita mencoba mendengar dengan hati suatu kisah yang dituturkan oleh peserta lain dengan seksama. Narasi tidak untuk disangkal atau dipermasalahkan melainkan untuk diteguhkan. Saya mendapatkan sapaan SAGKI 2010 untuk berkomitmen mengembangkan katekese naratif, bertutur akan pengalaman iman kepada Yesus, dengan cara berdialog dengan kebudayaan setempat, menggunakan berbagai bentuk kesenian, menyapa anak-anak dan kaum muda, berdialog dengan umat beragama lain, melakukan aksi nyata, bersolidaritas dengan mereka yang miskin dan terabaikan serta memelihara lingkungan hidup.

Nining: Keragaman Kisah Yesus

Warna-warni kisah yang dituturkan oleh para utusan seakan-akan mengungkapkan wajah Yesus yang hadir dalam segala aspek kehidupan di nusantara ini. Pertukaran kisah Yesus itu semakin mengingatkan akan tugas perutusan umat Katolik untuk selalu membawa wajah Yesus yang penuh kasih, solider, penolong, dan tahan uji.

Saya mengagumi kearifan budaya-budaya yang dituturkan para utusan karena di dalamnya banyak nilai-nilai positif yang sesuai dengan iman Kristiani. Namun tak dapat dipungkiri, di beberapa tempat terjadi benturan dan konflik budaya dengan penghayatan iman Katolik. Dalam hal ini Gereja Katolik dituntut bersikap kritis dan berani untuk diperbaharui sekaligus memperbaharui unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan kekuatan Injil.

Sebuah relasi akan terbangun dengan baik saat kita mau berdialog dengan terbuka, mau belajar dan mampu mengatasi pikiran yang terkotak-kotak. Aneka ragam agama dan kepercayaan yang dihayati oleh rakyat Indonesia bukanlah sebuah ancaman perpecahan apabila ada dialog di dalamnya. Konflik Maluku, seperti dituturkan oleh Mgr. Mandagi dalam homili misa harian, adalah sebuah contoh negatif dari sebuah krisis dialog. Tidak ada wajah Yesus di situ. Yang nampak adalah wajah setan penuh kekerasan dan balas dendam.

Kelompok marginal dan kemiskinan seringkali hadir dalam kehidupan di dunia ini dan tak jarang juga hadir di dalam gereja. Keterpinggiran dapat dialami seseorang, suatu kelompok bahkan mereka yang hidup berkemewahan. Berbagai kisah perjuangan kaum marginal dan terabaikan digambarkan dalam narasi publik dan sharing kelompok menimbulkan suatu perasaan sedih dan terharu. Saat itu saya menemukan wajah Yesus yang terluka, tertekan dan penuh air mata. Muncul sebuah pertanyaan dalam diri saya, “Bagaimana diriku dalam tugas perutusan sebagai umat Katolik dapat menghadirkan kelimpahan hidup bagi yang terpinggirkan, terabaikan dan kekurangan?”

Tidak ada komentar: