Kebebasan merupakan salah satu bentuk ekspresi Kemerdekaan. Oleh karena itu kita diajak penulis untuk merenungkan arti kebebasan yang kita miliki…
Anda pasti sudah tahu kalau manusia itu adalah ciptaan yang paling sempurna. Ciptaan yang paling disayang. Mau tau buktinya. Sudah jelas tertulis dalam Kitab Kejadian yaitu pada peristiwa penciptaan. Bab dan ayat berapa? -Silahkan cari sendiri, sekalian mulai membuka Kitab Suci, bulan depan-kan (September) bulan Kitab Suci. Minimal tahu letak dan kondisi Kitab Suci tersebut.- Pada kisah penciptaan manusia diciptakan paling terakhir, setelah segala sesuatunya tersedia. Makan tinggal makan dan minum tinggal minum. Semua disediakan tanpa harus membayar, enak too.
Tetapi semua yang diberikan Tuhan itu ternyata ada syaratnya. Dan itu sangat ringan. Manusia cuma dilarang memakan satu buah terlarang yang sudah ditandai oleh-Nya. “Nanti kamu akan mati”, begitu pesan Tuhan kepada manusia ciptaan-Nya. Maka dalam arti ini,
Tuhan memberikan kebebasan secara penuh kepada manusia ciptaan-Nya yang paling mulia itu. Bebas untuk tinggal dimana saja. Bebas untuk makan apa saja. Bebas untuk bertindak seturut kehendaknya. Tetapi kebebasan itu tetap ada batasanya. Kebebasan itu harus ada aturannya. Mengapa? Karena Tuhan menciptakan manusia secitra dengan Diri-Nya (sama dengan Allah). Artinya manusia diberikan juga hati nurani untuk berpikir, bertindak dan mengambil keputusan yang harus benar di mata Allah.
Pada awal penciptaan itu, Tuhan Allah “hanya” melarang manusia untuk tidak memakan buah yang telah “ditandai” Allah. Allah sebenarnya mau melihat, apakah manusia itu menggunakan kebebasannya dengan bijaksana atau tidak? Kita lalu akan berpikir, berarti manusia itu bukan ciptaan yang sempurna, karena toh akhirnya manusia tidak mentaati perintah Allah. Jadi dalam arti tertentu Allah telah gagal menciptakan manusia. Benarkah demikian? Jelas salah. Sekali lagi salah. Allah justru memberikan yang terbaik untuk ciptaan-Nya. Allah memberikan kebebasan kepada manusia, untuk berbuat seturut kehendaknya sendiri. Persoalannya apakah kehendak manusia itu sama dengan kehendak Allah?
Buah terlarang yang tidak boleh dimakan merupakan gambaran bahwa dalam setiap kehidupan selalu ada norma/aturan yang telah ada dan telah disepakati oleh semua ciptaan. Buktinya cuma manusia saja yang berani memakan buah itu. Ciptaan lain tidak ada yang berani. Jadi manusialah yang melanggar norma yang telah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Manusialah yang melanggar kebebasan itu. Dan ketika Sang Pencipta meminta sebuah pertanggung jawaban, menusia itu mengelak dengan hebatnya. “Karena ular itu yang merayu”, begitu kata perempuan itu (Hawa). Lalu kata yang lelaki (Adam); “Karena perempuan itu yang menyuruh”. Jadi sudah dari awal manusia selalu mencari “yang lain” untuk membela dirinya dan seolah-olah dia tidak bersalah. Dan “seni” melempar kesalahan kepada “yang lain” masih terlihat sangat jelas sampai sekarang. Adakah di antara kita yang berani berkata; “Ya saya salah” ketika berbuat satu kesalahan tanpa harus terlebih dahulu memberikan alasan (baca: pembelaan)?
Sangat disayangkan, karena manusia pertama yang diciptakan Allah menjual kebebasannya dengan sebuah buah terlarang. Saya berandai-andai jika buah itu tidak dimakan. Tentu kita sekarang berada di
Selamat merenungkan. (ib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar